Dunia
serba pragmatis. Ya! Apa mau dikata kita sedang berhadapan dengan wujud satu
itu. Pragmatisme telah menyebar ke berbagai ranah kehidupan. Bukan sebuah hal
baru jika kita melihat pragmatisme sebagai buah dari sistem yang telah dianut
oleh sebagian masyarakat kita saat ini. Dalam dunia pendidikan hal tersebut
nampak nyata dalam kelangsungan proses. Lemahnya pendampingan serta kurangnya
greget di dalam membina para penerus bangsa telah menyebabkan budaya pragmatisme
merebak di dalam pendidikan.
Budaya pragmatisme memang telah mengakar di dalam
pendidikan kita. Terutama merambah di dalam institusi pendidikan yang telah
menyulap sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi menjadi wilayah pragmatis.
Sumber daya manusia diciptakan melalui jaring-jaring yang telah tersentuh
nuansa instan. Sistem pendidikan tidak lagi mendorong peserta didik untuk
berkembang menyesuaikan bakat yang dimiliki. Tetapi pada pemenuhan kuota kelas
dan pemenuhan terhadap standar nilai yang sudah ditetapkan.
Tulisan yang saya buat ini pada dasarnya tidak akan
memperdebatkan bahkan menjelek-jelekan sistem pragmatisme tersebut. Tetapi
mencoba bersikap realistis terhadap keadaan dunia saat ini yang dapat dikatakan
serba pragmatis. Namun yang masih saya pertanyakan hingga saat ini adalah
mengapa dan bagaimana budaya seperti ini direproduksi dan dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga mengarah ke bentuk pragmatis apalagi di dalam
pendidikan. Terkadang seseorang harus mencari keluar ranah pendidikan guna
memahami esensi dan makna ilmu yang sebenarnya. Lalu pertanyaan saat ini apakah
lembaga pendidikan hanya sebatas untuk memenuhi tradisi mobilitas vertikal? Bagi
sebagian masyarakat mungkin memang masih menganggap demikian dengan bersekolah
maka akan mengangkat derajat seseorang. Tetapi apa yang dihasilkan dari
pembelajaran seharusnya berbanding lurus dengan perkembangan manusia negeri
ini. Namun pada kenyataannya jenjang antara mereka yang berpendidikan dengan
yang tidak berpendidikan masih memiliki gap yang cukup jauh.
B. Lahire (dalam Haryatmoko 2001:24-26 ) menjelaskan dunia pendidikan formal
merupakan arena perjuangan sosial (champ) karena mengandung unsur hakiki ranah sosial
struktur arena itu: memiliki aturan main khas , hubungan habitus dengan
kapital, strategi pelaku, sistem yang terstruktur atas dasar posisi, otonomi
relatif. Bisa dipastikan kesenjangan pendidikan muncul melalui sifat-sifat
pragmatis yang sudah terstruktur di dalam berbagai wajah. Artinya bahwa di
dalam dunia pendidikan kita saat ini merupakan sebuah bentuk arena perjuangan
kelas. Hal ini berarti memunculkan berbagai macam bentuk kesenjangan kelas di
dalam memperoleh akses pendidikan itu sendiri karena struktur yang ada sudah
melahirkan bentuk yang sedemikian rupa. Pertemuan di antara para peserta didik
dianggap sebagai sebuah bentuk perjuangan sosial karena di dalamnya sama-sama
bersaing dengan berbagai bentuk pertaruhannya. Terutama jika peserta didik
dihadapkan dengan para pengajar yang notabene memiliki kedudukan lebih tinggi.
Di sinilah proses pendidikan dipertaruhkan. Guna menuju mobilitas vertikal yang
maksimal diperlukan adanya modal yang cukup. Artinya bahwa munculnya pragmatisme
ini juga dimungkinkan karena adanya kesenjangan yang terjadi dan menimbulkan
dominasi.
Hal demikian hanya sebagian bentuk dari apa yang bisa
saya sampaikan mengenai pragmatisme pendidikan. Utamanya yang saat ini sedang
ada di dalam mahasiswa saat ini. Namun yang lebih penting jika kita melihat ke
dalam sistem yang telah dibentuk. Apakah pragmatisme dalam pendidikan ini hanya
sebagai bentuk pilihan atau merupakan sebuah ancaman bagi pendidikan sekarang
dan ke depan.