Jumat, 31 Mei 2013

Pragmatisme Pendidikan, Pilihan atau Ancaman?

Dunia serba pragmatis. Ya! Apa mau dikata kita sedang berhadapan dengan wujud satu itu. Pragmatisme telah menyebar ke berbagai ranah kehidupan. Bukan sebuah hal baru jika kita melihat pragmatisme sebagai buah dari sistem yang telah dianut oleh sebagian masyarakat kita saat ini. Dalam dunia pendidikan hal tersebut nampak nyata dalam kelangsungan proses. Lemahnya pendampingan serta kurangnya greget di dalam membina para penerus bangsa telah menyebabkan budaya pragmatisme merebak di dalam pendidikan.

             Menjadi ironi tatkala pragmatisme telah menjamur ke dalam institusi pendidikan. Tantangan ke depan lebih banyak disisipi dengan bentuk-bentuk pendidikan semu, serba instan, dan bahkan kurang menunjukan nilai pendidikan itu sendiri. Sejak sekolah hingga tingkat perguruan tinggi dikemas ke dalam bentuk pragmatis dengan pengajaran yang tanpa nilai. Banyak orang berduyun-duyun datang mendaftar pada institusi pendidikan guna memperoleh berkas yang dinamakan ijazah tanpa melihat proses yang dilalui. Maka jangan pernah heran jika budaya mencontek dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi ditemui.
            Budaya pragmatisme memang telah mengakar di dalam pendidikan kita. Terutama merambah di dalam institusi pendidikan yang telah menyulap sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi menjadi wilayah pragmatis. Sumber daya manusia diciptakan melalui jaring-jaring yang telah tersentuh nuansa instan. Sistem pendidikan tidak lagi mendorong peserta didik untuk berkembang menyesuaikan bakat yang dimiliki. Tetapi pada pemenuhan kuota kelas dan pemenuhan terhadap standar nilai yang sudah ditetapkan.
            Tulisan yang saya buat ini pada dasarnya tidak akan memperdebatkan bahkan menjelek-jelekan sistem pragmatisme tersebut. Tetapi mencoba bersikap realistis terhadap keadaan dunia saat ini yang dapat dikatakan serba pragmatis. Namun yang masih saya pertanyakan hingga saat ini adalah mengapa dan bagaimana budaya seperti ini direproduksi dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mengarah ke bentuk pragmatis apalagi di dalam pendidikan. Terkadang seseorang harus mencari keluar ranah pendidikan guna memahami esensi dan makna ilmu yang sebenarnya. Lalu pertanyaan saat ini apakah lembaga pendidikan hanya sebatas untuk memenuhi tradisi mobilitas vertikal? Bagi sebagian masyarakat mungkin memang masih menganggap demikian dengan bersekolah maka akan mengangkat derajat seseorang. Tetapi apa yang dihasilkan dari pembelajaran seharusnya berbanding lurus dengan perkembangan manusia negeri ini. Namun pada kenyataannya jenjang antara mereka yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan masih memiliki gap yang cukup jauh.
            B. Lahire (dalam Haryatmoko 2001:24-26  ) menjelaskan dunia pendidikan formal merupakan arena perjuangan sosial (champ) karena mengandung unsur hakiki ranah sosial struktur arena itu: memiliki aturan main khas , hubungan habitus dengan kapital, strategi pelaku, sistem yang terstruktur atas dasar posisi, otonomi relatif. Bisa dipastikan kesenjangan pendidikan muncul melalui sifat-sifat pragmatis yang sudah terstruktur di dalam berbagai wajah. Artinya bahwa di dalam dunia pendidikan kita saat ini merupakan sebuah bentuk arena perjuangan kelas. Hal ini berarti memunculkan berbagai macam bentuk kesenjangan kelas di dalam memperoleh akses pendidikan itu sendiri karena struktur yang ada sudah melahirkan bentuk yang sedemikian rupa. Pertemuan di antara para peserta didik dianggap sebagai sebuah bentuk perjuangan sosial karena di dalamnya sama-sama bersaing dengan berbagai bentuk pertaruhannya. Terutama jika peserta didik dihadapkan dengan para pengajar yang notabene memiliki kedudukan lebih tinggi. Di sinilah proses pendidikan dipertaruhkan. Guna menuju mobilitas vertikal yang maksimal diperlukan adanya modal yang cukup. Artinya bahwa munculnya pragmatisme ini juga dimungkinkan karena adanya kesenjangan yang terjadi dan menimbulkan dominasi.

            Hal demikian hanya sebagian bentuk dari apa yang bisa saya sampaikan mengenai pragmatisme pendidikan. Utamanya yang saat ini sedang ada di dalam mahasiswa saat ini. Namun yang lebih penting jika kita melihat ke dalam sistem yang telah dibentuk. Apakah pragmatisme dalam pendidikan ini hanya sebagai bentuk pilihan atau merupakan sebuah ancaman bagi pendidikan sekarang dan ke depan.

Senin, 28 Januari 2013

Pendidikan (Destruksi) Sarana Mobilitas


           Munculnya gagasan pembentukan kurikulum baru masih menjadi perdebatan bagi dunia pendidikan saat ini. Carut marut dunia pendidikan negara ini, pembenahan dengan membentuk sistem baru menjadi sebuah wacana yang sekiranya wajib dilaksanakan untuk membenahi serta memelihara kualitas masa depan putra-putri negeri ini. Namun demikian, solusi pembenahan kurikulum seharusnya bukan didasarkan pada berapa banyak mata pelajaran dan banyaknya jam di sekolah. Melainkan lebih mengedepankan aspek pembenahan kualitas sumber daya utamanya pada para pengajar yang diberikan kepada siswa. Berkaca pada apa yang telah terjadi di periode kurikulum sebelumnya bahwa berbagai perencanaan serta konsep tentang pendidikan yang didambakan belum berjalan sesuai yang diharapkan. Pembenahan kurikulum yang saat ini dilakukan seharusnya melalui evaluasi terhadap kebijakan yang ada sebelumnya. Terutama ketika kebijakan pendidikan seharusnya bisa menjadi sarana mobilitas bagi seseorang. Kualitas pendidikan seharusnya dapat diimplementasikan menjadi sebuah sarana mobilitas vertikal manakala pendidikan tersebut mampu memberikan kehidupan yang lebih layak bagi masyarakat di masa yang akan datang.
            Pada dasarnya asumsi orang tua untuk menyekolahkan sang anak dengan harapan agar memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka. Lembaga pendidikan formal yang dianggap sebagai social elevator yang menggerakan status sosial seseorang dari kedudukan rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Dengan asumsi demikian orang tua tentunya berharap ketika sang anak berada dalam lingkungan sekolah, mereka dapat memperoleh bekal ilmu pengetahuan yang nantinya sebagai akses untuk melakukan mobilitas vertikal. Peranan lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah akan sangat membantu menjembatani sarana mobilitas ini.
            Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan terkait Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan landasan kebijakan untuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).  Adanya keputusan ini adalah buah kontroversi dari lahirnya RSBI di beberapa sekolah dengan menggunakan standar internasional sebagai dasar kebijakan di sekolah tersebut. Dari segi mobilitas sosial di dalam dunia pendidikan keberadaan RSBI dirasa tidak adil. Kastanisasi pendidikan memang dapat dilihat dalam bentuk sekolah ini. Di mana bagi golongan mampu, menyekolahkan anaknya di tempat ini memang perkara mudah dari segi biaya namun bagi mereka yang kurang mampu pendidikan semacam ini akan sulit mereka dapat.  


Mobilitas dalam Pendidikan
            Pelabelan RSBI dapat dikatakan akan mengurangi kredibilitas pendidikan utamanya di dalam aspek mobilitas. Sorokin melihat pendidikan sebagai social elevator yang cukup memiliki peranan signifikan dalam melakukan mobilitas vertikal dari kedudukan rendah menuju ke kedudukan tinggi. Adanya RSBI memang menjanjikan adanya mobilitas di dalam dunia pendidikan, namun dengan lingkup batasan yang hanya didominasi bagi mereka yang mampu dari segi ekonomi. Batasan inilah yang pada akhirnya akan membuat jenjang mobilitas dalam masyarakat. Bukan tidak mungkin adanya RSBI nantinya akan mengurangi subsidi pendidikan yang diberikan bagi yang kurang mampu. Konsentrasi pendidikan yang difokuskan terhadap pembenahan sekolah yang berstandar internasional membatasi ruang masyarakat kecil untuk memperoleh akses mobilitas vertikal melalui pendidikan.
            Di dalam masyarakat terbuka mobilitas vertikal menjadi kunci untuk perubahan dalam ranah individu maupun kelompok. Individu di sini dilihat dari dan dalam sebuah kelompok. Artinya bahwa individu yang berada pada kelompok masyarakat kecil akan kesulitan apabila sekolah berstandar internasional diterapkan karena faktor biaya. Sehingga pada akhirnya akan menyulitkan mereka melakukan mobilitas vertikal ke arah yang lebih baik.    
           
Pendidikan dan Destruksi Mobilitas
            Memang perlu banyak peninjauan kembali terhadap berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kemendikbud dalam membuat sistem tatanan pendidikan negeri ini. Tugas pendidikan yang pada dasarnya mengusahakan emansipasi di mana  sebagai alat mengantar dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang utuh. Menjalin kerjasama, komunikasi, dan interaksi dengan orang lain. Menyorot pada persoalan RSBI, seharusnya Kemendikbud harus mengkaji ulang tentang kebijakan tersebut. Sebab pada dasarnya pendidikan merupakan salah satu pembentuk mobilitas ke arah yang lebih baik. Artinya manusia dengan kebutuhan pendidikan yang baik akan mampu membawanya ke arah hidup yang lebih baik.