Dua buah dunia berjalan dari waktu ke waktu. Seiring awal mereka berjumpa pun ikut berjalan berdampingan yang merotasi langkah demi langkah. Ketika dua dunia itu saling mengikat semakin kuat rotasi langkah itu. Bahkan tak hanya langkah, namun hati dan jiwa ini saling beriringan memutar rotasi bak poros bumi yang begitu kuat mengelilingi dimensi tata surya.
Seiring berjalannya waktu, dua dunia itu semakin mengerti dan memahami bagaimana memutar dan mengendalikan aliran rotasi yang bernama hati dan jiwa. Menopang langkah mengiringi langkah dunia itu melihat bagaimana indahnya jika perbedaan itu menyatu. Semakin kuat dan bahkan tak ada satupun yang mampu meruntuhkannya.
Hingga pada suatu hari tiba saatnya dua dunia itu harus menghentingkan rotasinya. Entah apa yang menyebabka dua dunia yang indah itu harus menghentingkannya. Pupus!! memang kata itu yang mampu menggambarkan kisah itu. Harus kuakui bahwa dua dunia yang telah berjalan satu tahun lamanya hanya menggunakan hati namun tanpa menggunakan jiwa yang dihiasi raga dan juga batin.
'Pupus"
Rabu, 03 Oktober 2012
Senin, 27 Agustus 2012
Arti Romantisme Gelar Juara
Rindu
Prestasi! Itulah kalimat tegas yang mungkin ingin disampaikan seluruh kalangan
pecinta sepakbola negeri ini. Semenjak terakhir kali memperoleh medali emas
pada ajang Sea Games tahun 1991 di Manila, sepakbola Indonesia tidak lagi
memperlihatkan tajinya di kancah internasional. Jika waktu kembali diputar,
pecinta sepakbola Indonesia tidak ingin berada pada kondisi seperti sekarang
ini. Kisruh di tubuh PSSI yang tak kunjung usai, membuat semua pihak gerah. Keputusan
FIFA yang keluar pada bulan Maret lalu yang melarang pemain di luar kompetisi
PSSI memperkuat timnas pada ajang internasional, membuat petinggi PSSI kalang
kabut. Itulah puncak dari ego para petinggi sepakbola kita yang saling bertaruh
kekuasaan. Sangat ironis, jika kita melihat kondisi PSSI saat ini yang sangat
dipenuhi ego masing-masing petingginya. Terlebih munculnya KPSI sebagai PSSI
tandingan yang memunculkan dualisme induk sepakbola di dalam negeri.
Agaknya
seluruh penikmat sepakbola tanah air sudah muak dengan kondisi seperti
demikian. Pertentangan yang berawal dari ketidaksepahaman golongan petinggi
sepakbola negeri ini memunculkan permasalahan seperti dualisme liga
professional antara ISL dan IPL. Namun demikian, munculnya dua kubu tersebut
tidak berujung kepada satu kata yang dinanti pecinta sepakbola negeri ini yakni
“prestasi”. Gelar juara dalam kancah bergengsi internasional seakan semakin
menjauhi Indonesia. Tak ayal ini memunculkan banyak perdebatan tentang apakah
sebuah romantisme merasakan juara akan kembali dirasakan oleh seluruh penikmat
sepakbola tanah air.
Kunci
jawaban ada kepada Djohar Arifin sebagai pemegang mandat kursi kepemimpinan
PSSI yang sejauh ini belum mampu memberikan jawaban terbaik atas
hausnya prestasi sepakbola negeri ini. Sejak terpilih sebagai ketua umum PSSI,
Djohar belum mampu menyelesaikan PR yang ada pada saat kepemimpinan Nurdin
Halid. Permasalahan klasik, seperti yang dibawa pada masa kepemimpinan Nurdin
masih berlanjut ke dalam kepemimpinan Djohar. Salah satu masalah yakni ego
petinggi PSSI belum selesai terpecahkan. Pada intinya, masalah yang muncul
sebenarnya memiliki sebuah kesamaan namun dengan bentuk yang lebih kompleks dan
memunculkan aktor-aktor baru.
Romantisme Juara
Perbaikan
timnas wajib dilakukan, ketika melihat betapa bobroknya kondisi timnas
Indonesia saat ini. Kalah 0-10 atas Bahrain bukanlah catatan yang mengenakan
bagi seluruh pecinta sepakbola tanah air. Terlemparnya peringkat Indonesia dari
150 besar FIFA menjadi catatan buruk yang dialami timnas. Bahkan negara antah
berantah di dalam kancah sepakbola internasional seperti Filipina, mampu
menyalip posisi Indonesia di rangking FIFA. Hal tersebut amat jelas merupakan
dampak dari perseteruan para petinggi sepakbola negeri ini yang tak kunjung
memberikan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah negeri ini. Dualisme
kompetisi yang membuat timnas tidak mampu bersatu. Masalah profesionalitas
terhadap klub menjadi kendala bagi pemain untuk mewujudkan rasa nasionalismenya
dengan membela timnas di kancah internasional.
Masalah demi masalah datang silih berganti
menghiasi sepakbola negeri ini. Sepakbola yang merupakan alat pemersatu bangsa
tidak memperlihatkan kilau emasnya untuk memberikan prestasi terbaik untuk
negeri ini. Entah apa yang terlintas di pikirkan saya, bak seorang manusia
paruh baya yang amat menginginkan sebuah romantisme masa muda dan berusaha
menggapai cita, cinta, dan asa. Seorang yang menginginkan kembali ke masa lalu
untuk menikmati betapa bangganya memiliki sebuah negara yang memiliki prestasi
yang hebat di mata dunia. Romantisme gelar juara yang mampu dirasakan di tengah
dunia yang serba carut marut ini, merupakan pelepas dahaga bagi masyarakat
terutama pecinta sepakbola negeri ini.
Ketuk
palu Kongres bulan Juni semakin dekat. Apapun keputusan yang dihasilkan,
hendaknya mampu meyelesaikan permasalahan sepakbola negeri ini. Jika tidak
jangan harap negeri ini akan merasakan romantisme gelar juara bergengsi di sepakbola
seperti pada gelaran SEA Games tahun 1991!
Anarkisme Pemuda di dalam Bingkai Suporter Sepakbola
Unsur kepemudaan banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada.
Perkembangan pola pikir kepemudaan berkembang melalui masyarakat di sekitarnya.
Suporter sepakbola di Indonesia terkenal dengan fanatisme yang cukup tinggi.
Persaingan antar daerah di dalam ranah sepakbola telah memberi imbas terhadap
suporter di Indonesia. Pemuda banyak memberikan peranan di dalam menciptakan
fanatisme antar daerah yang berasal dari sepakbola. Kultur yang kuat di dalam
tubuh masing-masing suporter membawa sebuah fanatisme bagi mereka dan terkadang
berujung pada sentimen antar kelompok suporter.
Identitas nampaknya menjadi sebuah harga yang penting bagi sebuah komunitas suporter sehingga semua keyakinan itu tertanam pada anak muda yang ada di dalamnya. Identitas yang diterjemahkan sebagai kategori sosial ditandai dengan adanya entitas “diri” (self) dan entitas “yang lain” (others) (Barker, 2000). Artinya bahwa pemaknaan terhadap identitas dimaknai di dalam berbagai macam kategori sosial yang terkait dengan sikap inklusi maupun eksklusi. Kategori identitas dimaknai di dalam dua bentuk, di mana sebagai pemberi batas antara anggota dan bukan anggota serta menunjukkan batas yang terkait dengan kepercayaan, minat, komitmen moral , dan atribut dari pemikiran atau perilaku tertentu yang harus ditaati (Fearon dan Laitin, 2000). Sehingga para pemuda memiliki sebuah identitas yang berbasis pada suporter tim kebanggaannya yang memberikan berbagai bentuk perilaku yang akan membentuk karakternya. Umumnya perilaku anak muda akan cenderung mengikuti lingkungan di mana dia berada sebab adanya ideologi yang telah ter-internalisasi ke dalam diri individu sebagai sebuah nilai. Perlu digarisbawahi bahwa aspek perilaku pemuda umumnya bergerak atas stimuli dari kelompok dominan yang ada di sekitarnya.
Keterlibatan pemuda di dalam kelompok suporter adalah bagian bentuk dari
Fanatisme suporter di mana dalam komunitas memiliki sebuah ikatan dan integrasi
yang kuat. Pada umumnya mereka melakukan pembelaan pada klub secara berkelompok
dengan mengesampingkan kesalahan atau kualitas klub yang merupakan wujud adanya collective
conciousness (kesadaran kolektif) pada komunitas suporter.
Menurut Durkheim, kesadaran kolektif baru akan “terwujud” melalui
kesadaran-kesadaran individual. Artinya bahwa para pemuda yang tergabung di
dalam kegiatan suporter berpotensi untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh
mayoritas individu di dalamnya. Berbagai kasus tindakan anarkisme suporter
di Indonesia, umumnya didominasi oleh kaum muda. Beberapa diantaranya bahkan menimbulkan
korban jiwa. Aksi main hakim sendiri, lempar batu, pengrusakan, penjarahan, dan
pembunuhan kerap kali dilakukan oleh suporter kita. Sepak bola menjadi magnet
yang mampu menggerakkan kelompok sosial di dalam sebuah negara yang cukup besar
seperti Indonesia. Iklim kompetisi antar klub sepak bola sampai merambah pada
persaingan antar suporter, bahkan muncul ke permukaan dengan menonjolkan sisi
kedaerahan masing-masing suporter. Dapat dikatakan sepakbola di negeri ini
telah membawa arus negara ini menjadi sebuah “negara suporter”. Suporter lebih
mengedepankan unsur kecintaan pada klubnya bertendensi menjadi awal timbulnya
fanatisme. Maka tidak jarang ada hal yang menyulut amarah dan memancing emosi
suporter tidak jarang melakukan aksi di luar akal sehat. Dapat dikatakan
kelompok ini menjadi begitu ekstrem tatkala dihadapkan pada konflik yang tidak
dapat mereka terima. Kasus terakhir yang muncul adalah tewasnya salah
seorang suporter Persib Bandung bernama Lazuardi. Kasus ini terjadi ketika klub
Persija Jakarta melawan Persib Bandung, pada hari Minggu 27 Mei 2012. Tiga
pemuda termasuk Lazuardi tewas dikeroyok oleh beberapa suporter JakMania
(sebutan suporter Persija Jakarta). Menurut keterangan Ketua Bidang Humas Polda
Metro Jaya Kombes Rikwanto yang dikutip dari Okezone.com mengatakan bahwa,
korban ketiga korban tewas tersebut merupakan suporter Viking (sebutan untuk
suporter Persib Bandung). Hal itu dilihat dari atribut yang mereka kenakan
berupa kaos dan syal Persib. Ini merupakan sebuah ironi bagi bangsa ini ketika
dihadapkan pada sikap fanatisme suporter yang berujung pada tindakan anarkis
yang dilakukan oleh kaum muda.
Fanatisme Suporter di Kalangan Pemuda.
Ada
beberapa pandangan utamanya bagi kaum muda ketika mereka dihadapkan dengan
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan suporter. Miftah (21 tahun) salah
seorang suporter klub PSIM Yogyakarta mengutarakan bahwa akar masalah anarkisme
yang berkaitan sikap fanatisme pemuda dapat dipicu oleh dua hal yakni sejarah
dan wilayah. PSIM Yogyakarta yang memiliki sejarah panjang di dalam
persepakbolaan negeri ini. Akar fanatisme suporter terbentuk dari faktor
sejarah yang mendukung terjadinya aksi anarkisme. Ia juga menyampaikan sejarah
panjang juga terkait dengan rivalitas antara suporter yang dapat dipicu oleh
kejadian masa lampau. Kadangkala faktor ‘derby’ di mana pertandingan
mempertemukan klub dengan satu provinsi yang sama bisa memunculkan potensi
konflik. Menurutnya konflik antar suporter tidak dapat lepas dari sebuah
pertandingan. Artinya potensi konflik sebisa mungkin harus diminamalisir agar
tidak berbuntut pada suatu
anarkisame.
“kalau
persoalan pemuda di dalam tubuh suporter, harusnya ada sosok pemimpin di dalam
tubuh suporter yang menggerakan mereka di dalam satu komando supaya tidak
terjadi tawuran”
Sosok
pemimpin dalam tubuh suporter di dalam tubuh kelompok, dapat memberikan arahan
dan bimbingan dalam satu aturan yang harus ditaati. Pastinya para pemimpin
dalam tubuh suporter telah paham sejarah klub dan juga berbagai potensi konflik
di dalam sebuah pertandingan yang akan dijalani. Setidaknya mampu memberikan
sebuah bimbingan utamanya bagi pemuda agar tidak melakukan tindakan
anarkis.
Di
samping sejarah, faktor fanatisme terhadap wilayah juga dapat memicu terjadinya
tindakan anarkis suporter. Hal ini juga terkait dengan kebanggaan atas daerah
yang notabene merupakan basis klub berasal. Duta (21 tahun) seorang suporter
PPSM Magelang menyampaikan bahwa fanatisme kelompok suporter disebabkan karena adanya
dukungan dari wilayah di mana mereka berasal. Semakin menanjak prestasi level
klub akan mempengaruhi tingkat kefanatikan seorang individu terhadap klub
kebanggaanya. Namun, menurutnya tidak selalu sikap fanatisme akan berujung pada
tindakan anarkisme.
“suporter
itu kumpulan orang-orang yang suka sepakbola. Mereka punya latar belakang yang
beda. Tapi kalo menurut saya faktor wilayah itu punya kontribusi yang membentuk
kebanggaan terhadap tim. Apalagi prestasi tim lagi bagus-bagusnya, wajar kalo
pemuda umumnya milih klub yang sedang menanjak apalagi pemuda punya potensi
galau.”
Potensi pemuda ‘galau’ di sini memiliki arti bahwa umumnya mereka tidak
memahami benar sejarah sebuah tim tertentu. Tetapi mereka mencoba masuk di dalam
sebuah kerumunan di mana mereka berinteraksi dengan sesama penikmat olahraga
sepakbola. Namun ketika dihadapkan pada penyelesaian konflik mereka hanya
mengikuti apa yang akan dilakukan kelompoknya. Ironisnya banyak suporter di
negeri ini yang menggunakan jalan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian
konflik.
“awal
muncul tawuran suporter biasane dipicu dari lapangan. Kalo wasit, official, dan
pemain memicu emosi maka suporter bisa marah. Apalagi kalo ada saingan suporter
tetangga.”
Pendapat
Duta ini memberikan sebuah indikasi bahwa penyebab tindakan anarkisme suporter
berawal dari lapangan. Banyaknya pemuda kelas menengah yang ada di dalam
lingkungan suporter bisa jadi memicu kerusuhan. Hal ini terkait dengan faktor
ekonomi dan pendidikan yang akan membawa mereka menanggapi suatu persoalan.
Dalam artian kerusuhan bisa menjadi bagian dari bentuk akumulasi proses
berpikir kaum muda di dalam menerima stimuli dari luar. Sebagai contoh apa yang
di sampaikan oleh narasumber pernah ada suatu kasus di mana seorang tukang
copet dipukuli oleh pemuda suporter pada salah satu pertandingan PPSM sekitar
tahun
lalu.
“Suporter
kadang-kadang bisa brutal ga karuan kalau ketemu sama hal yang dapat memicu
emosi. Sekelas copet saja bisa babak belur dihajar para pemuda suporter apalagi
kalo ada suporter lain yang ngejek mereka, apalagi kalo mereka main di daerah
sendiri.”
Kasus anarkisme suporter sepakbola umumnya memang terjadi karena pemuda tidak sanggup mengendalikan rasa amarah di dalam dirinya. Jika melihat tindakan anarkisme yang dilakukan belakangan ini ada beberapa hal yang berawal dari hal sepele. Sebagai contoh saling ejek antar suporter, persoalan atribut, ataupun permasalahan lain yang dapat memberikan stimuli yang berpotensi konflik. Menurut narasumber, hilangnya akal sehat para pemuda suporter kita umumnya lebih karena tertutupnya identitas mereka yang sebenarnya oleh fanatisme sesaat. Sehingga akal sehat yang dimiliki terkadang tertutupi oleh identitas kelompok mereka yakni suporter itu sendiri. Tinjauan Kritis Masalah Pemuda dan Suporter Indonesia
Kasus anarkisme suporter sepakbola umumnya memang terjadi karena pemuda tidak sanggup mengendalikan rasa amarah di dalam dirinya. Jika melihat tindakan anarkisme yang dilakukan belakangan ini ada beberapa hal yang berawal dari hal sepele. Sebagai contoh saling ejek antar suporter, persoalan atribut, ataupun permasalahan lain yang dapat memberikan stimuli yang berpotensi konflik. Menurut narasumber, hilangnya akal sehat para pemuda suporter kita umumnya lebih karena tertutupnya identitas mereka yang sebenarnya oleh fanatisme sesaat. Sehingga akal sehat yang dimiliki terkadang tertutupi oleh identitas kelompok mereka yakni suporter itu sendiri. Tinjauan Kritis Masalah Pemuda dan Suporter Indonesia
Permasalahan anarkisme pemuda dalam konteks
suporter sepakbola sebagian besar didominasi oleh faktor fanatisme. Hal ini
seringkali dimaknai anak muda sebagai cara pandang hidup yang bersifat sesaat.
Parsons (1942,1943) menyatakan bahwa anak muda merupakan kategori sosial yang
muncul bersama dengan perubahan peran keluarga yang tumbuh dari perkembangan
kapitalisme. Kemunculan peran orang dewasa di dalam struktur kapitalis membuat
terjadinya suatu diskontinuitas antara keluarga dan
masyarakat. Orang-orang dewasa dalam masyarakat kapitalis memiliki sifat
terspesialisasi, universal, dan rasional menurut bidang pekerjaan yang
ditekuni. Masa transisi inilah yang terkadang sering disalahartikan oleh para
kaum muda. Posisi sosial di mana pada masa ini anak muda berada di antara
anak-anak yang masih bergantung pada orang-orang
dewasa.
Cohen
(1997:182) membuat suatu pandangan di mana anak muda memiliki problema seperti
berikut:1)
Anak muda adalah kategori yang padu, dengan karakter psikologis dan kebutuhan sosial yang sama pada kelompok tertentu.
2) Anak muda adalah suatu tahap perkembangan yang mempunyai sifat normatif. Sikap dan nilai yang dimiliki bersandar kepada ideologi dan melekat pada karakter hidup.
3) Transisi dari ketergantungan anak-anak menuju otonomi orang dewasa yang biasanya melibatkan satu fase pemberontakan yang dengan sendirinya menjadi bagian dari tradisi kultural yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya
4) Orang-orang di dalam usia muda di dalam masyarakat modern mengalami kesulitan di dalam masyarakat transisi dengan mulus dan memerluka bantuan kaum professional, nasihat dan dukungan untuk melakukan hal tersebut.
Dalam kasus pemuda dan suporter sepakbola di tanah air, keempat unsur ini merupakan bagian yang tidak dapat lepas dari kemunculan tindakan anarkisme. Aksi rusuh suporter yang umumnya melibatkan banyak kaum muda dipicu lantaran adanya unsur dilematis yang ada di dalam tubuh suporter. Sosialisasi tidak sempurna merupakan implikasi di mana orang-orang dewasa tidak memberikan panutan yang baik terhadap kaum muda. Tak adanya pembinaan suporter khususnya kaum muda menyebabkan terjadinya tindakan anarkisme. Bahkan orang dewasa dalam tubuh suporter merupakan bagian dari pelaku tindakan anarkisme yang pada akhirnya dimaknai kaum muda sebagai sebuah simbolisasi fanatisme dari kelompok suporter tertentu. Bentuk-bentuk pemahaman tindakan anarkisme dianggap sebagai bagian dari penyelesaian masalah. Pergolakan masa transisi kaum muda dimasuki oleh pemahaman mengenai fakta sejarah serta etnosentrisme wilayah. Di mana sudah suatu kewajiban bagi mereka untuk membela habis-habisan terhadap tim kebanggaanya. Masalah anak muda dianggap sebagai ‘gangguan’ bagi sebagian masyarakat. Pemuda kerap kali menjadi ancaman bagi kelangsungan tatanan di dalam kehidupan bermasyarakat. Hebdige (1988) menyatakan bahwa anak muda telah terbentuk di dalam diskursus ‘gangguan’ dan identik dengan hal yang berbau kesenangan. Hal ini cenderung menjadi permasalahan yang mendorong terjadinya tindakan anarkisme yang dilakukan kelompok suporter. Konotasi ‘gangguan’ muncul dari masyarakat yang berada di luar suporter ketika mereka menganggap bahwa suporter sepakbola kerap kali memunculkan masalah terutama aksi pengrusakan yang terkadang merusak fasilitas umum yang merugikan masyarakat. Hebdige juga menyampaikan bahwa posisi anak muda yang terhimpit di antara fase anak-anak dan juga orang dewasa. Artinya bahwa lingkungan di mana anak muda tinggal bisa menentukan sifat-sifat yang akan dibawanya. Sebagai ilustrasi apabila seorang ayah adalah suporter fanatik sepakbola tertentu maka suatu saat akan ditiru oleh sang anak hingga beranjak remaja. Ketika ia mulai dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya remaja tersebut dihadapkan pada berbagai kemungkinan yang terjadi termasuk dengan ideologi dalam klub kebanggaanya. Hal tersebut kemudian diserap ke dalam pemikiran remaja sebagai sebuah identitas yang harus dipegang teguh. Celakanya adalah ketika remaja tidak mampu untuk membedakan mana hal yang benar dan salah. Semua stimuli terhadap kekerasan dan tindakan anarkis suporter diinternalisasi menjadi sesuatu hal yang benar meskipun kecenderungan masyarakat umum menganggap hal tersebut salah.
Kasus
kematian Lazuardi salah seorang suporter Persib Bandung, Mei silam merupakan
bagian dari persoalan fanatisme yang berujung pada tindakan anarkis. Hanya
karena permasalahan atribut almarhum bersama dua korban lainnya harus meregang
nyawa tatkala dikeroyok oleh suporter.Anak muda adalah kategori yang padu, dengan karakter psikologis dan kebutuhan sosial yang sama pada kelompok tertentu.
2) Anak muda adalah suatu tahap perkembangan yang mempunyai sifat normatif. Sikap dan nilai yang dimiliki bersandar kepada ideologi dan melekat pada karakter hidup.
3) Transisi dari ketergantungan anak-anak menuju otonomi orang dewasa yang biasanya melibatkan satu fase pemberontakan yang dengan sendirinya menjadi bagian dari tradisi kultural yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya
4) Orang-orang di dalam usia muda di dalam masyarakat modern mengalami kesulitan di dalam masyarakat transisi dengan mulus dan memerluka bantuan kaum professional, nasihat dan dukungan untuk melakukan hal tersebut.
Dalam kasus pemuda dan suporter sepakbola di tanah air, keempat unsur ini merupakan bagian yang tidak dapat lepas dari kemunculan tindakan anarkisme. Aksi rusuh suporter yang umumnya melibatkan banyak kaum muda dipicu lantaran adanya unsur dilematis yang ada di dalam tubuh suporter. Sosialisasi tidak sempurna merupakan implikasi di mana orang-orang dewasa tidak memberikan panutan yang baik terhadap kaum muda. Tak adanya pembinaan suporter khususnya kaum muda menyebabkan terjadinya tindakan anarkisme. Bahkan orang dewasa dalam tubuh suporter merupakan bagian dari pelaku tindakan anarkisme yang pada akhirnya dimaknai kaum muda sebagai sebuah simbolisasi fanatisme dari kelompok suporter tertentu. Bentuk-bentuk pemahaman tindakan anarkisme dianggap sebagai bagian dari penyelesaian masalah. Pergolakan masa transisi kaum muda dimasuki oleh pemahaman mengenai fakta sejarah serta etnosentrisme wilayah. Di mana sudah suatu kewajiban bagi mereka untuk membela habis-habisan terhadap tim kebanggaanya. Masalah anak muda dianggap sebagai ‘gangguan’ bagi sebagian masyarakat. Pemuda kerap kali menjadi ancaman bagi kelangsungan tatanan di dalam kehidupan bermasyarakat. Hebdige (1988) menyatakan bahwa anak muda telah terbentuk di dalam diskursus ‘gangguan’ dan identik dengan hal yang berbau kesenangan. Hal ini cenderung menjadi permasalahan yang mendorong terjadinya tindakan anarkisme yang dilakukan kelompok suporter. Konotasi ‘gangguan’ muncul dari masyarakat yang berada di luar suporter ketika mereka menganggap bahwa suporter sepakbola kerap kali memunculkan masalah terutama aksi pengrusakan yang terkadang merusak fasilitas umum yang merugikan masyarakat. Hebdige juga menyampaikan bahwa posisi anak muda yang terhimpit di antara fase anak-anak dan juga orang dewasa. Artinya bahwa lingkungan di mana anak muda tinggal bisa menentukan sifat-sifat yang akan dibawanya. Sebagai ilustrasi apabila seorang ayah adalah suporter fanatik sepakbola tertentu maka suatu saat akan ditiru oleh sang anak hingga beranjak remaja. Ketika ia mulai dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya remaja tersebut dihadapkan pada berbagai kemungkinan yang terjadi termasuk dengan ideologi dalam klub kebanggaanya. Hal tersebut kemudian diserap ke dalam pemikiran remaja sebagai sebuah identitas yang harus dipegang teguh. Celakanya adalah ketika remaja tidak mampu untuk membedakan mana hal yang benar dan salah. Semua stimuli terhadap kekerasan dan tindakan anarkis suporter diinternalisasi menjadi sesuatu hal yang benar meskipun kecenderungan masyarakat umum menganggap hal tersebut salah.
Identitas nampaknya menjadi sebuah harga yang penting bagi sebuah komunitas suporter sehingga semua keyakinan itu tertanam pada anak muda yang ada di dalamnya. Identitas yang diterjemahkan sebagai kategori sosial ditandai dengan adanya entitas “diri” (self) dan entitas “yang lain” (others) (Barker, 2000). Artinya bahwa pemaknaan terhadap identitas dimaknai di dalam berbagai macam kategori sosial yang terkait dengan sikap inklusi maupun eksklusi. Kategori identitas dimaknai di dalam dua bentuk, di mana sebagai pemberi batas antara anggota dan bukan anggota serta menunjukkan batas yang terkait dengan kepercayaan, minat, komitmen moral , dan atribut dari pemikiran atau perilaku tertentu yang harus ditaati (Fearon dan Laitin, 2000). Sehingga para pemuda memiliki sebuah identitas yang berbasis pada suporter tim kebanggaannya yang memberikan berbagai bentuk perilaku yang akan membentuk karakternya. Umumnya perilaku anak muda akan cenderung mengikuti lingkungan di mana dia berada sebab adanya ideologi yang telah ter-internalisasi ke dalam diri individu sebagai sebuah nilai. Perlu digarisbawahi bahwa aspek perilaku pemuda umumnya bergerak atas stimuli dari kelompok dominan yang ada di sekitarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)