Rindu
Prestasi! Itulah kalimat tegas yang mungkin ingin disampaikan seluruh kalangan
pecinta sepakbola negeri ini. Semenjak terakhir kali memperoleh medali emas
pada ajang Sea Games tahun 1991 di Manila, sepakbola Indonesia tidak lagi
memperlihatkan tajinya di kancah internasional. Jika waktu kembali diputar,
pecinta sepakbola Indonesia tidak ingin berada pada kondisi seperti sekarang
ini. Kisruh di tubuh PSSI yang tak kunjung usai, membuat semua pihak gerah. Keputusan
FIFA yang keluar pada bulan Maret lalu yang melarang pemain di luar kompetisi
PSSI memperkuat timnas pada ajang internasional, membuat petinggi PSSI kalang
kabut. Itulah puncak dari ego para petinggi sepakbola kita yang saling bertaruh
kekuasaan. Sangat ironis, jika kita melihat kondisi PSSI saat ini yang sangat
dipenuhi ego masing-masing petingginya. Terlebih munculnya KPSI sebagai PSSI
tandingan yang memunculkan dualisme induk sepakbola di dalam negeri.
Agaknya
seluruh penikmat sepakbola tanah air sudah muak dengan kondisi seperti
demikian. Pertentangan yang berawal dari ketidaksepahaman golongan petinggi
sepakbola negeri ini memunculkan permasalahan seperti dualisme liga
professional antara ISL dan IPL. Namun demikian, munculnya dua kubu tersebut
tidak berujung kepada satu kata yang dinanti pecinta sepakbola negeri ini yakni
“prestasi”. Gelar juara dalam kancah bergengsi internasional seakan semakin
menjauhi Indonesia. Tak ayal ini memunculkan banyak perdebatan tentang apakah
sebuah romantisme merasakan juara akan kembali dirasakan oleh seluruh penikmat
sepakbola tanah air.
Kunci
jawaban ada kepada Djohar Arifin sebagai pemegang mandat kursi kepemimpinan
PSSI yang sejauh ini belum mampu memberikan jawaban terbaik atas
hausnya prestasi sepakbola negeri ini. Sejak terpilih sebagai ketua umum PSSI,
Djohar belum mampu menyelesaikan PR yang ada pada saat kepemimpinan Nurdin
Halid. Permasalahan klasik, seperti yang dibawa pada masa kepemimpinan Nurdin
masih berlanjut ke dalam kepemimpinan Djohar. Salah satu masalah yakni ego
petinggi PSSI belum selesai terpecahkan. Pada intinya, masalah yang muncul
sebenarnya memiliki sebuah kesamaan namun dengan bentuk yang lebih kompleks dan
memunculkan aktor-aktor baru.
Romantisme Juara
Perbaikan
timnas wajib dilakukan, ketika melihat betapa bobroknya kondisi timnas
Indonesia saat ini. Kalah 0-10 atas Bahrain bukanlah catatan yang mengenakan
bagi seluruh pecinta sepakbola tanah air. Terlemparnya peringkat Indonesia dari
150 besar FIFA menjadi catatan buruk yang dialami timnas. Bahkan negara antah
berantah di dalam kancah sepakbola internasional seperti Filipina, mampu
menyalip posisi Indonesia di rangking FIFA. Hal tersebut amat jelas merupakan
dampak dari perseteruan para petinggi sepakbola negeri ini yang tak kunjung
memberikan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah negeri ini. Dualisme
kompetisi yang membuat timnas tidak mampu bersatu. Masalah profesionalitas
terhadap klub menjadi kendala bagi pemain untuk mewujudkan rasa nasionalismenya
dengan membela timnas di kancah internasional.
Masalah demi masalah datang silih berganti
menghiasi sepakbola negeri ini. Sepakbola yang merupakan alat pemersatu bangsa
tidak memperlihatkan kilau emasnya untuk memberikan prestasi terbaik untuk
negeri ini. Entah apa yang terlintas di pikirkan saya, bak seorang manusia
paruh baya yang amat menginginkan sebuah romantisme masa muda dan berusaha
menggapai cita, cinta, dan asa. Seorang yang menginginkan kembali ke masa lalu
untuk menikmati betapa bangganya memiliki sebuah negara yang memiliki prestasi
yang hebat di mata dunia. Romantisme gelar juara yang mampu dirasakan di tengah
dunia yang serba carut marut ini, merupakan pelepas dahaga bagi masyarakat
terutama pecinta sepakbola negeri ini.
Ketuk
palu Kongres bulan Juni semakin dekat. Apapun keputusan yang dihasilkan,
hendaknya mampu meyelesaikan permasalahan sepakbola negeri ini. Jika tidak
jangan harap negeri ini akan merasakan romantisme gelar juara bergengsi di sepakbola
seperti pada gelaran SEA Games tahun 1991!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar