Senin, 27 Agustus 2012

Arti Romantisme Gelar Juara


Rindu Prestasi! Itulah kalimat tegas yang mungkin ingin disampaikan seluruh kalangan pecinta sepakbola negeri ini. Semenjak terakhir kali memperoleh medali emas pada ajang Sea Games tahun 1991 di Manila, sepakbola Indonesia tidak lagi memperlihatkan tajinya di kancah internasional. Jika waktu kembali diputar, pecinta sepakbola Indonesia tidak ingin berada pada kondisi seperti sekarang ini. Kisruh di tubuh PSSI yang tak kunjung usai, membuat semua pihak gerah. Keputusan FIFA yang keluar pada bulan Maret lalu yang melarang pemain di luar kompetisi PSSI memperkuat timnas pada ajang internasional, membuat petinggi PSSI kalang kabut. Itulah puncak dari ego para petinggi sepakbola kita yang saling bertaruh kekuasaan. Sangat ironis, jika kita melihat kondisi PSSI saat ini yang sangat dipenuhi ego masing-masing petingginya. Terlebih munculnya KPSI sebagai PSSI tandingan yang memunculkan dualisme induk sepakbola di dalam negeri.
Agaknya seluruh penikmat sepakbola tanah air sudah muak dengan kondisi seperti demikian. Pertentangan yang berawal dari ketidaksepahaman golongan petinggi sepakbola negeri ini memunculkan permasalahan seperti dualisme liga professional antara ISL dan IPL. Namun demikian, munculnya dua kubu tersebut tidak berujung kepada satu kata yang dinanti pecinta sepakbola negeri ini yakni “prestasi”. Gelar juara dalam kancah bergengsi internasional seakan semakin menjauhi Indonesia. Tak ayal ini memunculkan banyak perdebatan tentang apakah sebuah romantisme merasakan juara akan kembali dirasakan oleh seluruh penikmat sepakbola tanah air.
Kunci jawaban ada kepada Djohar Arifin sebagai pemegang mandat kursi kepemimpinan PSSI  yang sejauh ini  belum mampu memberikan jawaban terbaik atas hausnya prestasi sepakbola negeri ini. Sejak terpilih sebagai ketua umum PSSI, Djohar belum mampu menyelesaikan PR yang ada pada saat kepemimpinan Nurdin Halid. Permasalahan klasik, seperti yang dibawa pada masa kepemimpinan Nurdin masih berlanjut ke dalam kepemimpinan Djohar. Salah satu masalah yakni ego petinggi PSSI belum selesai terpecahkan. Pada intinya, masalah yang muncul sebenarnya memiliki sebuah kesamaan namun dengan bentuk yang lebih kompleks dan memunculkan aktor-aktor baru. 
Romantisme Juara  
Perbaikan timnas wajib dilakukan, ketika melihat betapa bobroknya kondisi timnas Indonesia saat ini. Kalah 0-10 atas Bahrain bukanlah catatan yang mengenakan bagi seluruh pecinta sepakbola tanah air. Terlemparnya peringkat Indonesia dari 150 besar FIFA menjadi catatan buruk yang dialami timnas. Bahkan negara antah berantah di dalam kancah sepakbola internasional seperti Filipina, mampu menyalip posisi Indonesia di rangking FIFA. Hal tersebut amat jelas merupakan dampak dari perseteruan para petinggi sepakbola negeri ini yang tak kunjung memberikan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah negeri ini. Dualisme kompetisi yang membuat timnas tidak mampu bersatu. Masalah profesionalitas terhadap klub menjadi kendala bagi pemain untuk mewujudkan rasa nasionalismenya dengan membela timnas di kancah internasional.
 Masalah demi masalah datang silih berganti menghiasi sepakbola negeri ini. Sepakbola yang merupakan alat pemersatu bangsa tidak memperlihatkan kilau emasnya untuk memberikan prestasi terbaik untuk negeri ini. Entah apa yang terlintas di pikirkan saya, bak seorang manusia paruh baya yang amat menginginkan sebuah romantisme masa muda dan berusaha menggapai cita, cinta, dan asa. Seorang yang menginginkan kembali ke masa lalu untuk menikmati betapa bangganya memiliki sebuah negara yang memiliki prestasi yang hebat di mata dunia. Romantisme gelar juara yang mampu dirasakan di tengah dunia yang serba carut marut ini, merupakan pelepas dahaga bagi masyarakat terutama pecinta sepakbola negeri ini.
Ketuk palu Kongres bulan Juni semakin dekat. Apapun keputusan yang dihasilkan, hendaknya mampu meyelesaikan permasalahan sepakbola negeri ini. Jika tidak jangan harap negeri ini akan merasakan romantisme gelar juara bergengsi di sepakbola seperti pada gelaran SEA Games tahun 1991!

Tidak ada komentar: