Unsur kepemudaan banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada.
Perkembangan pola pikir kepemudaan berkembang melalui masyarakat di sekitarnya.
Suporter sepakbola di Indonesia terkenal dengan fanatisme yang cukup tinggi.
Persaingan antar daerah di dalam ranah sepakbola telah memberi imbas terhadap
suporter di Indonesia. Pemuda banyak memberikan peranan di dalam menciptakan
fanatisme antar daerah yang berasal dari sepakbola. Kultur yang kuat di dalam
tubuh masing-masing suporter membawa sebuah fanatisme bagi mereka dan terkadang
berujung pada sentimen antar kelompok suporter.
Keterlibatan pemuda di dalam kelompok suporter adalah bagian bentuk dari
Fanatisme suporter di mana dalam komunitas memiliki sebuah ikatan dan integrasi
yang kuat. Pada umumnya mereka melakukan pembelaan pada klub secara berkelompok
dengan mengesampingkan kesalahan atau kualitas klub yang merupakan wujud adanya collective
conciousness (kesadaran kolektif) pada komunitas suporter.
Menurut Durkheim, kesadaran kolektif baru akan “terwujud” melalui
kesadaran-kesadaran individual. Artinya bahwa para pemuda yang tergabung di
dalam kegiatan suporter berpotensi untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh
mayoritas individu di dalamnya. Berbagai kasus tindakan anarkisme suporter
di Indonesia, umumnya didominasi oleh kaum muda. Beberapa diantaranya bahkan menimbulkan
korban jiwa. Aksi main hakim sendiri, lempar batu, pengrusakan, penjarahan, dan
pembunuhan kerap kali dilakukan oleh suporter kita. Sepak bola menjadi magnet
yang mampu menggerakkan kelompok sosial di dalam sebuah negara yang cukup besar
seperti Indonesia. Iklim kompetisi antar klub sepak bola sampai merambah pada
persaingan antar suporter, bahkan muncul ke permukaan dengan menonjolkan sisi
kedaerahan masing-masing suporter. Dapat dikatakan sepakbola di negeri ini
telah membawa arus negara ini menjadi sebuah “negara suporter”. Suporter lebih
mengedepankan unsur kecintaan pada klubnya bertendensi menjadi awal timbulnya
fanatisme. Maka tidak jarang ada hal yang menyulut amarah dan memancing emosi
suporter tidak jarang melakukan aksi di luar akal sehat. Dapat dikatakan
kelompok ini menjadi begitu ekstrem tatkala dihadapkan pada konflik yang tidak
dapat mereka terima. Kasus terakhir yang muncul adalah tewasnya salah
seorang suporter Persib Bandung bernama Lazuardi. Kasus ini terjadi ketika klub
Persija Jakarta melawan Persib Bandung, pada hari Minggu 27 Mei 2012. Tiga
pemuda termasuk Lazuardi tewas dikeroyok oleh beberapa suporter JakMania
(sebutan suporter Persija Jakarta). Menurut keterangan Ketua Bidang Humas Polda
Metro Jaya Kombes Rikwanto yang dikutip dari Okezone.com mengatakan bahwa,
korban ketiga korban tewas tersebut merupakan suporter Viking (sebutan untuk
suporter Persib Bandung). Hal itu dilihat dari atribut yang mereka kenakan
berupa kaos dan syal Persib. Ini merupakan sebuah ironi bagi bangsa ini ketika
dihadapkan pada sikap fanatisme suporter yang berujung pada tindakan anarkis
yang dilakukan oleh kaum muda.
Fanatisme Suporter di Kalangan Pemuda.
Ada
beberapa pandangan utamanya bagi kaum muda ketika mereka dihadapkan dengan
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan suporter. Miftah (21 tahun) salah
seorang suporter klub PSIM Yogyakarta mengutarakan bahwa akar masalah anarkisme
yang berkaitan sikap fanatisme pemuda dapat dipicu oleh dua hal yakni sejarah
dan wilayah. PSIM Yogyakarta yang memiliki sejarah panjang di dalam
persepakbolaan negeri ini. Akar fanatisme suporter terbentuk dari faktor
sejarah yang mendukung terjadinya aksi anarkisme. Ia juga menyampaikan sejarah
panjang juga terkait dengan rivalitas antara suporter yang dapat dipicu oleh
kejadian masa lampau. Kadangkala faktor ‘derby’ di mana pertandingan
mempertemukan klub dengan satu provinsi yang sama bisa memunculkan potensi
konflik. Menurutnya konflik antar suporter tidak dapat lepas dari sebuah
pertandingan. Artinya potensi konflik sebisa mungkin harus diminamalisir agar
tidak berbuntut pada suatu
anarkisame.
“kalau
persoalan pemuda di dalam tubuh suporter, harusnya ada sosok pemimpin di dalam
tubuh suporter yang menggerakan mereka di dalam satu komando supaya tidak
terjadi tawuran”
Sosok
pemimpin dalam tubuh suporter di dalam tubuh kelompok, dapat memberikan arahan
dan bimbingan dalam satu aturan yang harus ditaati. Pastinya para pemimpin
dalam tubuh suporter telah paham sejarah klub dan juga berbagai potensi konflik
di dalam sebuah pertandingan yang akan dijalani. Setidaknya mampu memberikan
sebuah bimbingan utamanya bagi pemuda agar tidak melakukan tindakan
anarkis.
Di
samping sejarah, faktor fanatisme terhadap wilayah juga dapat memicu terjadinya
tindakan anarkis suporter. Hal ini juga terkait dengan kebanggaan atas daerah
yang notabene merupakan basis klub berasal. Duta (21 tahun) seorang suporter
PPSM Magelang menyampaikan bahwa fanatisme kelompok suporter disebabkan karena adanya
dukungan dari wilayah di mana mereka berasal. Semakin menanjak prestasi level
klub akan mempengaruhi tingkat kefanatikan seorang individu terhadap klub
kebanggaanya. Namun, menurutnya tidak selalu sikap fanatisme akan berujung pada
tindakan anarkisme.
“suporter
itu kumpulan orang-orang yang suka sepakbola. Mereka punya latar belakang yang
beda. Tapi kalo menurut saya faktor wilayah itu punya kontribusi yang membentuk
kebanggaan terhadap tim. Apalagi prestasi tim lagi bagus-bagusnya, wajar kalo
pemuda umumnya milih klub yang sedang menanjak apalagi pemuda punya potensi
galau.”
Potensi pemuda ‘galau’ di sini memiliki arti bahwa umumnya mereka tidak
memahami benar sejarah sebuah tim tertentu. Tetapi mereka mencoba masuk di dalam
sebuah kerumunan di mana mereka berinteraksi dengan sesama penikmat olahraga
sepakbola. Namun ketika dihadapkan pada penyelesaian konflik mereka hanya
mengikuti apa yang akan dilakukan kelompoknya. Ironisnya banyak suporter di
negeri ini yang menggunakan jalan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian
konflik.
“awal
muncul tawuran suporter biasane dipicu dari lapangan. Kalo wasit, official, dan
pemain memicu emosi maka suporter bisa marah. Apalagi kalo ada saingan suporter
tetangga.”
Pendapat
Duta ini memberikan sebuah indikasi bahwa penyebab tindakan anarkisme suporter
berawal dari lapangan. Banyaknya pemuda kelas menengah yang ada di dalam
lingkungan suporter bisa jadi memicu kerusuhan. Hal ini terkait dengan faktor
ekonomi dan pendidikan yang akan membawa mereka menanggapi suatu persoalan.
Dalam artian kerusuhan bisa menjadi bagian dari bentuk akumulasi proses
berpikir kaum muda di dalam menerima stimuli dari luar. Sebagai contoh apa yang
di sampaikan oleh narasumber pernah ada suatu kasus di mana seorang tukang
copet dipukuli oleh pemuda suporter pada salah satu pertandingan PPSM sekitar
tahun
lalu.
“Suporter
kadang-kadang bisa brutal ga karuan kalau ketemu sama hal yang dapat memicu
emosi. Sekelas copet saja bisa babak belur dihajar para pemuda suporter apalagi
kalo ada suporter lain yang ngejek mereka, apalagi kalo mereka main di daerah
sendiri.”
Kasus anarkisme suporter sepakbola umumnya memang terjadi karena pemuda tidak
sanggup mengendalikan rasa amarah di dalam dirinya. Jika melihat tindakan
anarkisme yang dilakukan belakangan ini ada beberapa hal yang berawal dari hal
sepele. Sebagai contoh saling ejek antar suporter, persoalan atribut, ataupun
permasalahan lain yang dapat memberikan stimuli yang berpotensi konflik.
Menurut narasumber, hilangnya akal sehat para pemuda suporter kita umumnya
lebih karena tertutupnya identitas mereka yang sebenarnya oleh fanatisme
sesaat. Sehingga akal sehat yang dimiliki terkadang tertutupi oleh identitas kelompok
mereka yakni suporter itu sendiri. Tinjauan Kritis Masalah Pemuda dan
Suporter
Indonesia
Permasalahan anarkisme pemuda dalam konteks
suporter sepakbola sebagian besar didominasi oleh faktor fanatisme. Hal ini
seringkali dimaknai anak muda sebagai cara pandang hidup yang bersifat sesaat.
Parsons (1942,1943) menyatakan bahwa anak muda merupakan kategori sosial yang
muncul bersama dengan perubahan peran keluarga yang tumbuh dari perkembangan
kapitalisme. Kemunculan peran orang dewasa di dalam struktur kapitalis membuat
terjadinya suatu diskontinuitas antara keluarga dan
masyarakat. Orang-orang dewasa dalam masyarakat kapitalis memiliki sifat
terspesialisasi, universal, dan rasional menurut bidang pekerjaan yang
ditekuni. Masa transisi inilah yang terkadang sering disalahartikan oleh para
kaum muda. Posisi sosial di mana pada masa ini anak muda berada di antara
anak-anak yang masih bergantung pada orang-orang
dewasa.
Cohen
(1997:182) membuat suatu pandangan di mana anak muda memiliki problema seperti
berikut:1)
Anak muda adalah kategori yang padu, dengan
karakter psikologis dan kebutuhan sosial yang sama pada kelompok tertentu.
2) Anak muda adalah suatu tahap perkembangan yang
mempunyai sifat normatif. Sikap dan nilai yang dimiliki bersandar kepada
ideologi dan melekat pada karakter hidup.
3) Transisi dari ketergantungan anak-anak menuju
otonomi orang dewasa yang biasanya melibatkan satu fase pemberontakan yang
dengan sendirinya menjadi bagian dari tradisi kultural yang diwariskan dari
suatu generasi ke generasi berikutnya
4) Orang-orang di dalam usia muda di dalam
masyarakat modern mengalami kesulitan di dalam masyarakat transisi dengan mulus
dan memerluka bantuan kaum professional, nasihat dan dukungan untuk melakukan
hal tersebut.
Dalam kasus
pemuda dan suporter sepakbola di tanah air, keempat unsur ini merupakan bagian
yang tidak dapat lepas dari kemunculan tindakan anarkisme. Aksi rusuh suporter
yang umumnya melibatkan banyak kaum muda dipicu lantaran adanya unsur dilematis
yang ada di dalam tubuh suporter. Sosialisasi tidak sempurna merupakan
implikasi di mana orang-orang dewasa tidak memberikan panutan yang baik
terhadap kaum muda. Tak adanya pembinaan suporter khususnya kaum muda
menyebabkan terjadinya tindakan anarkisme. Bahkan orang dewasa dalam tubuh
suporter merupakan bagian dari pelaku tindakan anarkisme yang pada akhirnya
dimaknai kaum muda sebagai sebuah simbolisasi fanatisme dari kelompok suporter
tertentu. Bentuk-bentuk pemahaman tindakan anarkisme dianggap sebagai bagian
dari penyelesaian masalah. Pergolakan masa transisi kaum muda dimasuki oleh
pemahaman mengenai fakta sejarah serta etnosentrisme wilayah. Di mana sudah
suatu kewajiban bagi mereka untuk membela habis-habisan terhadap tim
kebanggaanya. Masalah anak muda dianggap sebagai ‘gangguan’ bagi sebagian
masyarakat. Pemuda kerap kali menjadi ancaman bagi kelangsungan tatanan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Hebdige (1988) menyatakan bahwa anak muda telah
terbentuk di dalam diskursus ‘gangguan’ dan identik dengan hal yang berbau
kesenangan. Hal ini cenderung menjadi permasalahan yang mendorong terjadinya
tindakan anarkisme yang dilakukan kelompok suporter. Konotasi ‘gangguan’ muncul
dari masyarakat yang berada di luar suporter ketika mereka menganggap bahwa
suporter sepakbola kerap kali memunculkan masalah terutama aksi pengrusakan
yang terkadang merusak fasilitas umum yang merugikan masyarakat. Hebdige
juga menyampaikan bahwa posisi anak muda yang terhimpit di antara fase anak-anak
dan juga orang dewasa. Artinya bahwa lingkungan di mana anak muda tinggal bisa
menentukan sifat-sifat yang akan dibawanya. Sebagai ilustrasi apabila seorang
ayah adalah suporter fanatik sepakbola tertentu maka suatu saat akan ditiru
oleh sang anak hingga beranjak remaja. Ketika ia mulai dapat bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya remaja tersebut dihadapkan pada berbagai
kemungkinan yang terjadi termasuk dengan ideologi dalam klub kebanggaanya. Hal
tersebut kemudian diserap ke dalam pemikiran remaja sebagai sebuah identitas
yang harus dipegang teguh. Celakanya adalah ketika remaja tidak mampu untuk
membedakan mana hal yang benar dan salah. Semua stimuli terhadap kekerasan dan
tindakan anarkis suporter diinternalisasi menjadi sesuatu hal yang benar meskipun
kecenderungan masyarakat umum menganggap hal tersebut salah.
Kasus
kematian Lazuardi salah seorang suporter Persib Bandung, Mei silam merupakan
bagian dari persoalan fanatisme yang berujung pada tindakan anarkis. Hanya
karena permasalahan atribut almarhum bersama dua korban lainnya harus meregang
nyawa tatkala dikeroyok oleh suporter.
Identitas nampaknya menjadi sebuah harga
yang penting bagi sebuah komunitas suporter sehingga semua keyakinan itu
tertanam pada anak muda yang ada di dalamnya. Identitas yang diterjemahkan
sebagai kategori sosial ditandai dengan adanya entitas “diri” (self) dan
entitas “yang lain” (others) (Barker, 2000). Artinya bahwa
pemaknaan terhadap identitas dimaknai di dalam berbagai macam kategori sosial
yang terkait dengan sikap inklusi maupun eksklusi. Kategori identitas dimaknai
di dalam dua bentuk, di mana sebagai pemberi batas antara anggota dan bukan
anggota serta menunjukkan batas yang terkait dengan kepercayaan, minat,
komitmen moral , dan atribut dari pemikiran atau perilaku tertentu yang harus
ditaati (Fearon dan Laitin, 2000). Sehingga para pemuda memiliki sebuah
identitas yang berbasis pada suporter tim kebanggaannya yang memberikan
berbagai bentuk perilaku yang akan membentuk karakternya. Umumnya perilaku anak
muda akan cenderung mengikuti lingkungan di mana dia berada sebab adanya
ideologi yang telah ter-internalisasi ke dalam diri individu sebagai sebuah
nilai. Perlu digarisbawahi bahwa aspek perilaku pemuda umumnya bergerak atas
stimuli dari kelompok dominan yang ada di sekitarnya.